PADANG – Pra pencoblosan Pilpres dan Pileg-Pemilu 14 Februari 2024 lalu, ada 17 nama tokoh yang direkomendasi PWM Sumbar untuk dipilih warganya sebagai kader politik yang harus dimenangkan. Pada dokumen yang ada, terdapat nama-nama Andre Rosiade, Sadiq Pasadigu, Alex Lukman, Guspardi Gaus, Darul Siska, Mulim Yatim, Jelita Donal (Jel Fatullah) dan 10 lainnya.
Pasca Pilpres dan Pemilu itu, khusus Pileg 2024, tentu ada tokoh politik yang sumringah. Sebaliknya ada yang loyo. Secara umum, di antara mereka ada tokoh politisi yang berasal dari warga dan pimpinan Muhammadiyah sesuai strata tingkatannya.
Opini singkat ini menyumbang-saran untuk tidak “besar hidung” bagi yang sukses. Dan tidak patah arang, apalagi putus asa di dalam berpolitik bagi kalangan tertentu.
Muhammadiyah dan Politik
Muhammadiyah pada dasarnya memberikan rambu-rambu untuk ini. Sejak Muktamar Ujung Padang (sekarang Makassar) 1971, hingga tanwir-tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali Januari 2002; Makassar Juni 2003; Mataram, Desember 2004 dan Muktamar, Malang Juli 2005, terakhir Muktamar Solo, Juli 2022, berturut-turut terkristal abstraksi peranan warga Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa-bernegara secara mendasar.
Di situ secara substantif dikatakan, kewajiban dan hak politik adalah kewajiban dan hak setiap warga negara-bangsa. Oleh karena itu, setiap warga Muhammadiyah dapat mengaplikasikan hak-hak perorangannya dalam politik kebangsaan. Tetapi, Muhammadiyah sebagai persyarikatan tidak terlibat dalam politik praktis.
Setiap warga Muhammadiyah yang ikut politik praktis, diminta menjadi teladan dalam akhlak dan etika politik, serta menjunjung nilai-nilai luhur dalam politik. Diharapkan pula, warga Muhammadiyah tersebut memilih institusi politik yang relevan dengan tujuan Muhammadiyah.
Di dalam perjalanan sejarah, lebih kurang 36 tahun belakangan, ternyata warga Muhammadiyah selamat secara relatif dan mematuhi rambu rambu tersebut. Akan tetapi, warga Muhammadiyah sebagian besar tetap saja, – kadang kala – terombang-ambing di tengah lautan partai politik dalam 12 kali Pemilu (1971-2024).
Kenyataan Empirik
Dalam suasana demikian, tidak terpungkiri bahwa ada masalah-masalah laten maupun manifes, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, posisi sebagai pimpinan, aktivis atau paling kurang sebagai anggota partai, selalu dikaitkan dengan wujud, keberadaan atau eksistensinya sebagai warga Muhammadiyah.
Bagi yang pro politik, ini dianggap keuntungan. Apalagi kalau tokoh itu berkibar sukses, bagi yang kontra dianggap hal itu merugikan citra Muhammadiyah. Terutama kalau yang bersangkutan “jatuah tapai”.
Kedua, tidak selalu setiap tokoh Muhammadiyah yang duduk di Partai, mencerminkan ketinggian akhlak politik yang diamanahkan Muhammadiyah dimaksud, sehingga tak jarang menuai buah busuk bagi Muhammadiyah.
Ketiga, konflik kepentingan partai dapat merembes ke dalam Muhammadiyah. Sekadar misal, dalam memosisikan masing-masing kader parpol dalam kepemimpinan Muhammadiyah, atau sebaliknya dan di luarnya.
Keempat, ada pergeseran bahkan pergesekan suka atau tidak suka bagi sesama warga Muhammadiyah.
Kelima, menumbuhkan sikap ambivalen, ambiguitas dan atau loyalitas ganda, sehingga kadangkala kegiatan-kegiatan dalam tugas kepemimpinan internal Muhammadiyah dan amal usaha, ada yang terabaikan.
Keenam, tentu saja pada gilirannya muncul polarisasi dalam pergaulan dan cara berfikir, antara keikhlasan dan interest (kepentingan) duniawi.