MenaraMu – Sebagaimana diketahui, manusia terdiri atas jasmani/fisik dan rohani/psikis. Al-Quran meggambarkannya dengan tiga kata yaitu: al-Basyar, al-Insan dan al-Naas. Ketiga kata ini juga menggambarkan dimensi manusia sebagai makhluk biologis, individual dan sosial.
Dimensi al-Basyar, yaitu dimensi yang berkaitan fisiologis atau biologis manusia. Karena itu manusia membutuhkan makan minum dan berkembang biak (nafsu sex). Nabi Muhammad juga tidak lepas dari aspek al-Basyarnya “ana basyarun mislukum” (al-Kahfi: 110).
Pada dimensi ini, kita sebenarnya sama dengan tumbuhan dan binatang, tidak jauh lebih hebat dan kuat dari binatang, gajah umpamanya dia mampu membawa beban yang berat, tapi manusia paling kuat seperti Martin Tye hanya mampu memikul 505 kg. Jadi, kalau manusia hanya mengutamakan fisik, binatang jauh lebih kuat dari manusia. Karena itu jangan membanggakan diri secara fisik.
Dengan berpuasa menahan makan-minum, tidak berhubungan suami-istri di siang hari, dan mengendalikan panca indra, adalah cara Tuhan untuk membuat fisik kita sehat dan kuat. Sebab, 90 % penyakit bisa masuk melalui apa yang dimakan-minum. Puasa juga akan menstimulan hormon endorfin yang dibutuhkan oleh fisik agar selalu sehat dan bugar.
Jadi puasa bertujuan menjaga kebaikan dari dimensi al-basyariah, sehingga dengan itu manusia akan memeroleh kesempurnaan dan kebahagian pada aspek basyariyahnya. Kalau kita puasa baru pada dimensi ini, berarti baru puasa orang awam – yang menahan haus dan lapar, tentu kita perlu naik ke tingkat puasa orang khusus.
Dimensi kedua adalah al-Insan, yaitu dimensi sebagai makhluk berakal, bertuhan, dan spiritual. Karenanya manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna mengatasi dimensi kelemahan aspek basyariahnya. Beragama, kerinduan terhadap Tuhan, kebahagian dan ketenangan dalam hidup, karena memang kita semua telah bersyahadat di alam ruh dengan Tuhan ‘alastu birabbikum qaaluu bala syahidna; (al-`Araf: 172).
Dimensi insani, merupakan bentuk ciptaan Allah terbaik kepada manusia dengan diberi potensi akal – yang tidak ada pada makhluk lain. Potensi ini harus dikembangkan dengan belajar dan digunakan untuk menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem aturan hidup yang baik. Semua itu dalam rangka ibadah kepada Allah dan ihsan kepada sesama.
Bila hal itu tidak dilakukan, maka manusia akan menjadi makhluk yang hina dina, sebagaimana firman Allah:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (al-Tin: 4-5)
Sebenarnya, secara kodrati tidak ada manusia yang tidak bertuhan, tetapi mungkin mereka menolak Tuhan yang dikonsepsikan oleh agama dan pandangan tertentu. Dewasa ini, di tengah peradaban sekuler, banyak lahir kelompok-kelompok spiritualis tapi mereka tidak mau berafiliasi di bawah satu agama. Itu bukti bahwa tiada manusia tanpa Tuhan, karena itu akan menafikan dimensi al-Insaniyahnya sebagai manusia.