MUHAMMADIYAH melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LKHP), kini tengah mempersiapkan rekomendasi terhadap pasangan calon (paslon) peserta Pilkada 2024. Sejumlah pertanyaan pun mulai muncul di kalangan warga Muhammadiyah terhadap prosesnya.
Pertanyaan warga Muhammadiyah itu tentunya punya alasan tersendiri, mengingat Muhammadiyah perlu melakukan sejumlah tahapan sehingga rekomendasi paslon di Pilkada 2024 itu diterbitkan. Salah satu pertanyaan itu adalah, sudahkah Muhammadiyah melakukan survei kelayakan dari paslon bersangkutan?
Menjawab pertanyaan itu, saat berbincang dengan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatra Barat yang membidangi urusan hikmah dan kebijakan publik, Yosmeri Yusuf, penulis mendapatkan informasi bahwa beberapa kriteria telah ditetapkan.
Yosmeri menjelaskan ketika itu, pemberian rekomendasi yang diusulkan mencakup kriteria pada unsur moralitas, rekam jejak, kekaderan di Muhammadiyah, serta kedekatan hubungan dengan peryarikatan. Selain indikator itu, Muhammadiyah melalui LHKP, akan mendalami tingkat elektabilitas paslon yang akan direkomendasi.
Kembali pada pertanyaan yang timbul dari perbincangan banyak warga Muhammadiyah, apakah untuk menilai indikator tersebut telah diturunkan tim survei lapangan untuk melihat sejauhmana paslon terkait memenuhi syarat secara objektif untuk mendapatkan rekomendasi organisasi kemasyarakatan terbesar di negeri ini?
Bicara objektivitas, tentunya bersandar pada nilai-nilai yang dikandung oleh Muhammadiyah itu sendiri, sebagai organisasi pencerahan, menjadikan setiap kebijakan yang dilahirkan berdampak positif pada umat dan seluruh jenjang struktural Muhammadiyah di setiap daerah.
Apakah mungkin usulan rekomendasi dari tiap daerah muncul sebagai bentuk pengaruh dari sejumlah pihak yang bercokol di Muhammadiyah, dan membawa kepentingan salah satu paslon? Untuk menjawabnya, perlu dilakukan pendalaman kepada setiap unsur pimpinan pada jenjang-jenjang yang menerbitkan usulan tersebut.
Sebagai warga Muhammadiyah, tidak menginginkan rekomendasi paslon menjadi batu sandungan demi kelancaran perjuangan Muhammadiyah dalam mendidik dan mencerahkan umat. Adagium ‘ibarat membeli kucing dalam karung’ pun sangat tidak diinginkan terjadi sebagai akibat dari lemahnya pendalaman yang dilakukan saat menerbitkan rekomendasi.
Coba kita lihat, di daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada tahun ini dengan kehadiran hanya dua pasangan calon, tingginya suhu politik tentu saja akan makin naik bila Muhammadiyah dinilai gegabah menentukan dan menerbitkan rekomendasi. Munculnya friksi di kalangan warga Muhammadiyah, bahkan pada tingkat pimpinan, mungkin saja terjadi dan tak dapat tidak akan berdampak pada perguliran roda organisasi ke depan.
Muhammadiyah pada dasarnya tidak menginginkan perpecahan internal terjadi dari setiap kebijakan yang dikeluarkan. Helat politik lima tahunan adalah sesuatu yang ‘biasa-biasa’ saja, sementara menjadikan Muhammadiyah sebagai orang tua dari setiap kebijakan pemerintahan dan kelangsungan gerakan sosial kemasyarakatan, akan lebih penting sepanjang masa.