PILKADA 2024 menjadi ajang perebutan kursi kekuasaan di tiap daerah. Setiap peserta Pilkada yang sebentar lagi akan ditetapkan oleh KPU, berupaya untuk menjadi yang terdepan mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Dalam tahapan pemenangan, setiap pasangan calon akan melakukan pendekatan dengan berbagai trik dan program. Masyarakat pemilih menjadi sasaran propaganda, bahkan tak jarang program-program yang digelontorkan menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Bisa saja karena program tersebut terlalu muluk dan hanya sebagai propaganda belaka.
Mendapatkan kesempatan bertemu warga pemilih, adalah momen penting bagi paslon di Pilkada untuk menyampaikan segala propaganda yang ada. Tak jarang, untuk memperoleh ruang ruang itu, mereka harus memanfaatkan para tokoh, dan juga jamak terlihat menggunakan para pemain politik setempat.
Bicara ‘pemain politik’, nyaris mirip dengan para broker yang menjajakan kelebihan barang jualannya di pusat-pusat pemasaran, entah itu melalui jejaring dunia maya atau secara langsung kepada calon konsumen (baca: konstituen). Mengapa harus ada ‘pemain’ yang dimanfaatkan untuk tahapan pemenangan? Tidak dapat tidak, diakui atau tidak, posisi mereka sangat penting dalam percaturan politik itu sendiri.
Merekalah yang mengetahui kantong-kantong suara pemilih, mereka pula yang tahu bagaimana cara memasuki ruang ruang itu sehingga memudahkan para paslon yang didukungnya mendapatkan tempat di hati warga. Kehadiran mereka adalah kunci dari kesuksesan tim pemenangan untuk meraup suara pemilih. Tanpa mereka, tim pemenangan paslon akan kesulitan masuk ke tengah masyarakat.
Di tahun politik dengan salah satu agenda besar negeri ini berupa Pilkada Serentak yang digelar pada 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, bertemunya sejumlah tokoh daerah yang hanya muncul setiap lima tahun menjadi catatan menarik. Ada kelompok-kelompok yang sebelumnya telah tertata rapi, dengan keahlian masing-masing, kini berkumpul lagi menatap Pilkada dengan sejumlah diskusi dan polemik.
Siapa mereka sebenarnya? Mereka adalah orang-orang yang selama ini terus memperhatikan sejauhmana pembangunan daerah berlangsung dari waktu ke waktu di tangan kepala daerah. Ibarat permainan dadu, mereka muncul sebagai ‘tukang kocok’ kotak dadu untuk selanjutnya dimainkan di lapangan politik.
Burukkah efek kehadiran mereka? Bila pertanyaan ini harus dijawab lugas, jawabannya antara iya dan tidak. Kehadiran mereka, tergantung jati diri yang melekat padanya selama ini. Mereka bisa saja adalah ‘pemain kotor’ di pandangan sebagian orang, namun di sisi lain, mereka lah yang sangat tahu tentang bagaimana seharusnya cara ‘menjual’ paslon ke tengah masyarakat.
Seorang teman bercerita, sebagai seorang ‘pemain’ yang telah malang melintang di berbagai daerah dalam ajang Pilkada, dirinya tidak pernah mengedepankan imbalan uang sebagai ukuran. “Kami bekerja demi idealisme yang kami bangun sejak dulu. Kami harus berguna bagi daerah, bagi masyarakat, dan masa depan negeri ini,” sebutnya ketika itu.
Mereka bukan orang-orang yang mau dibayar dengan harga rendah, tapi jangan coba-coba menakar mereka dengan segepok rupiah. Mereka orang-orang idealis yang ingin pemikiran dan idenya bermanfaat bagi masyarakat.
Sampai kapankah para ‘pemain politik semacam ini ada di tengah masyarakat? Pastinya akan ada sepanjang waktu, selama siang dan malam masih silih berganti. Mereka akan tetap ada, bahkan kadang siap untuk menjadi ‘oposisi’ dalam sebuah proses pembangunan daerah.
Satu kalimat kunci atas kehadirannya, mereka adalah elemen penting yang tidak boleh terlupakan bila tidak ingin kekalahan menjadi bagian dari perjuangan politik para peserta suksesi kepemimpinan. (*)
Penulis: Nova Indra (Pimp. P3SDM Melati, Dir. PT MenaraMu Media Group, Jurnalist, Writer)