Oleh: Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua PWM Sumatera Barat
MENARAMU.ID — Dulu, surau dan lapau adalah dua pilar penting dalam peradaban Minangkabau. Surau melahirkan ulama dan cendekiawan, sementara lapau menjadi ruang diskusi dan pertukaran ide. Kini, keduanya perlahan roboh tidak secara fisik, tapi secara fungsional. Orang Minangkabau kehilangan etos kerja, semangat belajar, dan nilai-nilai luhur yang dulu mengakar kuat dalam adat dan budaya mereka.
Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat, Ki Jal Atri Tanjung, usai pengkajian pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat bersama Ketum PP Muhammadiyah 2005-2015, yang menyinggung soal fungsi surau orang Minangkabau.
Ki Jal Atri Tanjung mengatakan, fungsi surau itu masih ada, ia kini menjelma menjadi sebuah pondok Pesantren. Seperti yang menjadi fokus Muhammadiyah Sumbar untuk pengembangan pondok Pesantren.
Menurutnya, transformasi surau menjadi pondok pesantren modern harus dimaknai sebagai kebangkitan pendidikan yang berbasis nilai-nilai keislaman, budaya, dan adat Minangkabau.
Pondok Pesantren Modern (PPM) Al-Kautsar adalah salah satu contoh surau yang bertransformasi, tidak hanya sebagai pusat keilmuan Islam, tetapi juga sebagai lembaga yang menyatu dengan teknologi dan tantangan zaman.
“Masalah utama kita hari ini bukan pada jumlah sekolah atau lembaga pendidikan, tetapi pada kualitasnya. Pendidikan yang kita butuhkan adalah pendidikan yang berbasis pada nilai, bukan semata-mata angka,” ujar Ki Jal Atri.
Pendidikan Sumatera Barat, menurutnya, harus berpijak pada filosofi lokal seperti Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), Sarak Mangato Adat Memakai (SMAM), dan Alam Takambang Jadi Guru. Nilai-nilai inilah yang menjadi pilar terakhir pertahanan masyarakat Minangkabau di tengah derasnya arus globalisasi.
Sebagai provinsi yang dikenal sebagai gudang cadiek pandai (cendekiawan), Sumatera Barat kini ditantang untuk membuktikan kembali identitasnya. “Kita tidak cukup hanya mengandalkan sumber daya alam, kita harus membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Dan untuk itu, pendidikan adalah kunci,” tegasnya.
Pondok Pesantren Al-Kautsar menjadi model awal penerapan Classroom Digital berbasis standar internasional. Langkah ini dinilai sebagai bentuk percepatan pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran di Sumatera Barat. Namun, Ki Jal Atri mengingatkan, upaya ini tidak akan maksimal tanpa dukungan serius dari semua pihak.
Ia mendorong sinergi yang kuat antara lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan dunia industri untuk membangun ekosistem pendidikan digital yang inklusif dan berkelanjutan. “Kerja sama lintas sektor sangat penting agar pendidikan kita mampu menjawab kebutuhan zaman,” ujarnya.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa masih banyak tantangan. Sarana dan prasarana pendidikan di Sumatera Barat, baik di sekolah negeri maupun swasta, masih tertinggal jauh dibandingkan daerah lain, khususnya Pulau Jawa. Tanpa pembaruan infrastruktur dan peningkatan kompetensi tenaga pendidik, sulit mengejar ketertinggalan mutu pendidikan di ranah Minang.
Tujuan pendidikan nasional sejatinya sudah sangat jelas: mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk manusia beriman, bertakwa, berilmu, kreatif, dan bertanggung jawab. Namun, realisasinya masih harus terus diupayakan, terutama di Sumatera Barat, provinsi yang mengusung diri sebagai provinsi pendidikan.
“Robohnya surau dan lapau harus menjadi cambuk bagi kita. Ini momentum kebangkitan untuk memperkuat kembali pilar pendidikan kita, demi membentuk generasi Minangkabau yang unggul dan berperadaban di masa depan,” tutup Ki Jal Atri.