Oleh: Agus Setiyono Sekretaris PW Muhammadiyah Jambi & Pegiat Dakwah Digital
PADANG — Di tengah zaman ketika silaturahim sering hanya menjadi status WhatsApp dan pertemuan digantikan oleh notifikasi, sebuah momentum menyejukkan justru terjadi di jantung Ranah Minang. Bukan agenda politik atau konser hiburan, melainkan peristiwa ruhaniyah yang menandakan bahwa Persyarikatan Muhammadiyah belum lelah, belum usang, dan belum berhenti dari misi peradaban.
Forum itu bernama Silaturahim Muhammadiyah Sumbar, Riau dan Jambi, namun sesungguhnya ia adalah lebih dari sekadar temu wicara.
Bertempat di Istana Gubernur Sumatera Barat, bangunan berarsitektur agung yang merepresentasikan keterbukaan dan penghormatan, forum ini menjadi wadah silaturahim lintas wilayah PWM. Tidak sekadar ajang seremonial, tetapi sebuah pertemuan ruhruh dakwah, pendidikan, dan kebersamaanyang kini kian langka di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.
Hadir dalam pertemuan ini, Dr. (H.C.) Buya Anwar Abbas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, membawa suara jernih dan penuh hikmah. Gaya bicaranya sederhana namun mendalam, lugas namun menyejukkan.
Dalam pidatonya, Buya tidak semata mengulas organisasi, melainkan menyentuh esensi: bahwa Muhammadiyah bukan sekadar struktur administratif, tetapi sebuah jiwa kolektif.
Salah satu analogi Buya yang mencuri perhatian adalah perumpamaan silaturahim dengan rantai jam tangan. Jika satu mata rantai lemah dan putus, maka seluruh jam akan jatuh berhamburan. Begitu pula Persyarikatan kita bisa memiliki program, dana, dan gedung megah, tetapi jika silaturahim rapuh, maka seluruh bangunan dakwah akan goyah.
Dalam sambutannya, Gubernur Sumatera Barat Dr. H. Mahyeldi Ansharullah menekankan bahwa silaturahim ini bukan akhir, tetapi awal. Ia mengajak agar forum ini tidak berhenti sebagai agenda tahunan atau koleksi foto dokumentasi, tetapi menjadi jembatan permanen yang menyatukan seluruh kekuatan Muhammadiyah di Pulau Sumatera.
PWM Sumatera Barat, melalui Ketua-nya Dr. Bakhtiar, menjadi inisiator forum, membuka ruang dan hati. PWM Riau hadir dengan kekayaan budaya dan spiritualitas lintas benua. Sementara PWM Jambi membawa kehangatan ukhuwah dan ketulusan khas Melayu Hulu.
Usulan konkret pun muncul memperluas forum ini hingga ke PWM Lampung, Sumsel, Sumut, Bangka Belitung, Kepri, hingga Aceh. Karena Sumatera adalah mozaik besar, dan Muhammadiyah harus menjadi benang penjahitnya.
Salah satu sorotan forum adalah kehadiran Dr. H. Saidul Amin, Wakil Ketua PWM Riau sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Riau dan University Muhammadiyah Malaysia. Sosok ulama sekaligus akademisi ini membawa pesan kebudayaan yang dalam.
Dengan logat Melayu yang kental dan retorika penuh nuansa, ia menyampaikan sanjungan kepada PWM Sumbarbukan sebagai basa-basi, melainkan sebagai bentuk politik kebudayaan cara halus menyatukan hati dan membangun jejaring ruhaniyah.
PWM Jambi, diwakili oleh penulis sendiri selaku Sekretaris Wilayah, tampil tanpa banyak kata namun membawa semangat kerja senyap dan istiqamah. Dalam sejarahnya, Persyarikatan tidak hanya dibesarkan oleh tokoh-tokoh yang lantang, tetapi juga oleh para penggerak yang diam-diam menanam amal. Kehadiran PWM Jambi di forum ini adalah bagian dari harmoni dalam orkestra dakwah Sumatera.
Forum ini juga dihadiri oleh unsur ortom dan tokoh muda, termasuk dua rektor generasi baru dari Universitas Muhammadiyah Sumbar dan UM Jambi. Ini menjadi tanda bahwa regenerasi dalam Muhammadiyah bukan sekadar wacana dalam AD/ART, tetapi sudah berjalan. Mereka adalah calon penulis babak baru perjuangan Muhammadiyah di Sumatera.
Lebih dari segalanya, forum ini menegaskan satu hal penting: bahwa silaturahim adalah energi ruhani. Tanpa silaturahim, visi-misi organisasi hanya tinggal dokumen. Tanpa kehangatan pertemuan, Persyarikatan bisa berjalan tanpa denyut.
Kita tidak perlu menunggu kongres besar untuk menyatukan langkah. Kadang, satu meja panjang di istana dan satu malam hangat dengan ruh yang ikhlas, cukup untuk menggerakkan gunung.
Penutup: Rantai yang Mengikat Waktu
Biarlah gema silaturahim dari Istana Gubernur ini menyebar ke seantero Sumateramenumbuhkan amal, menguatkan dakwah, dan memperteguh jamaah. Dalam Muhammadiyah, yang menyatukan bukan hanya sistem, tetapi rasa. Bukan hanya ideologi, tetapi cinta.
Dan cinta, seperti jaket tua warisan seorang guru, akan tetap hangat bahkan ketika yang memberi telah tiada, dan yang menerima terus berjalan membawa cahaya itu ke masa depan.
Silaturahim bukan sekadar temu, tetapi pertemuan yang melahirkan temu-temu berikutnya. Di sinilah Muhammadiyah menemukan denyut sejatinya—bukan dalam gedung, melainkan dalam getar hati para pejuangnya. Maka mari kita rawat silaturahim ini, sebelum rantai jam tangan kita putus dan waktu dakwah kita terhenti.