Oleh Advokat Ki Jal Atri Tanjung – Wakil Ketua PWM Sumbar & Wakil Ketua DPW Peradin Sumbar
Di tengah dinamika hukum nasional dan desakan keadilan yang terus menggema dari pelosok negeri, kehadiran Mahkamah Desa atau Mahkamah Nagari kini menjadi kebutuhan mendesak, khususnya di Provinsi Sumatera Barat.
Mahkamah ini tak sekadar pelengkap kelembagaan, tetapi merupakan instrumen penting dalam menegakkan hukum yang berkeadilan dan berakar dari nilai-nilai lokal serta hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat.
Pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat telah lama ditegaskan dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945. Negara secara eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, selama masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa juga memperkuat kerangka hukum ini. Dalam Pasal 26 ayat (4) huruf i dan Pasal 103, negara mengamanatkan pembentukan Mahkamah Desa sebagai ruang penyelesaian perkara secara non-litigasi dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat.
Keberadaan Mahkamah Desa sejatinya bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak yang bersifat fundamental. Dalam realitas kehidupan masyarakat adat di Sumatera Barat yang dikenal dengan sistem Nagari banyak sengketa sosial, adat, dan sumber daya yang lebih relevan diselesaikan melalui pendekatan lokal berbasis kearifan budaya.
Mahkamah Desa berfungsi tidak hanya sebagai ruang penyelesaian konflik, tetapi juga sebagai pelindung warisan hukum adat, penjaga harmoni sosial, dan penguat identitas budaya. Perannya meliputi pengelolaan sumber daya alam, pelestarian budaya, serta perlindungan hukum masyarakat dari intervensi yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal.
Sumatera Barat, dengan kekayaan budaya dan keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang kuat, sangat potensial menjadi pelopor nasional dalam implementasi Mahkamah Desa.
Namun, implementasi ini harus dibarengi dengan kesiapan sumber daya manusia yang mumpuni dan dukungan infrastruktur yang memadai. SDM yang akan duduk di Mahkamah Desa harus memahami hukum nasional sekaligus mendalami hukum adat, agar dapat menjembatani kepentingan negara dan masyarakat adat secara adil.
Jika hal ini diwujudkan secara serius, Sumatera Barat dapat menjadi role model bagi provinsi lain di Indonesia dalam membangun sistem peradilan adat yang terintegrasi dengan sistem hukum nasional.
Mahkamah Desa bukan sekadar struktur baru dalam birokrasi desa, melainkan manifestasi nyata dari pengakuan negara terhadap eksistensi dan martabat Masyarakat Hukum Adat. Saatnya Sumatera Barat memimpin gerakan ini.
Menunda berarti mengabaikan aspirasi keadilan masyarakat adat yang telah lama menantikan ruang pengakuan dan perlindungan yang sejati.