Padang — Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat, Buya Zaitul Ikhlas, menegaskan pentingnya komitmen nyata dalam pengembangan pariwisata halal di Sumatera Barat.
Hal ini disampaikannya dalam kegiatan Pengkajian Pimpinan Tingkat Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat yang digelar di Aula Kantor Gubernur Sumatera Barat, Sabtu (24/5/2025). Kegiatan tersebut mengangkat tema “Implementasi ABS-SBK dalam Perspektif Pariwisata Halal.”
Buya Zaitul menyoroti tren global yang memperlihatkan meningkatnya minat wisatawan mancanegara, khususnya dari Timur Tengah, terhadap destinasi wisata yang berbasis syariah. Menurutnya, kondisi sosial dan budaya di Sumatera Barat sangat mendukung pengembangan pariwisata halal.
“Wisatawan Timur Tengah biasanya mencari tempat yang memiliki keindahan alam, keunikan budaya, dan tentu saja, makanan serta fasilitas yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Semua itu sebenarnya sudah dimiliki oleh Sumatera Barat,” ujarnya.
Namun demikian, ia mengakui bahwa masih banyak kekurangan dalam penyediaan fasilitas pendukung, seperti tempat ibadah, toilet yang bersih, serta jaminan kebersihan dan kehalalan makanan.
“Saya pernah menyoroti Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Sebuah bandara besar seharusnya menyediakan fasilitas ibadah yang representatif. Namun kenyataannya, ruang ibadah yang tersedia sangat kecil. Ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap wisata halal masih setengah hati,” tegasnya.
Buya Zaitul menekankan perlunya kebijakan strategis agar Sumatera Barat bisa menjadi destinasi wisata halal unggulan yang tidak hanya mendongkrak ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan religius daerah. Ia menggarisbawahi pentingnya penerapan filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) sebagai landasan utama pengembangan wisata halal.
“Wisata halal bukan sekadar soal makanan. Ini mencakup akomodasi, pelayanan, hingga lingkungan sosial yang ramah muslim. Semua aspek harus mengacu pada prinsip Islam dan budaya lokal,” katanya.
Ia juga menyoroti kawasan wisata seperti Alahan Panjang yang mulai menjamur dengan vila-vila penginapan. Namun, ia mempertanyakan apakah keberadaan dan operasionalnya sudah sesuai dengan peraturan daerah (perda) yang berlaku.
“Minangkabau sebenarnya sudah lama menerapkan prinsip keislaman, bahkan sebelum adanya perda wisata halal. Tapi ironisnya, sejak tahun 2020, tidak ada satu pun kabupaten atau kota yang melahirkan perda turunan dari Perda Provinsi No. 1 tentang pariwisata halal,” ungkapnya.
Buya Zaitul juga menyampaikan sejumlah hambatan yang dihadapi dalam penerapan wisata halal. Di antaranya adalah kurangnya sosialisasi perda, minimnya pemahaman masyarakat tentang konsep wisata halal, serta kurangnya standardisasi layanan dan sertifikasi bagi pelaku usaha pariwisata.
“Standar operasional bagi wisatawan non-muslim juga harus diperhatikan agar inklusif. Selain itu, soal kepemilikan lahan wisata oleh pihak swasta juga perlu dikaji ulang. Apakah masih bisa dikendalikan oleh pemerintah dalam konteks pengembangan wisata halal?” tanyanya.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur pendukung juga harus menjadi prioritas, seperti masjid, mushalla, toilet bersih, pusat perbelanjaan yang nyaman, serta sertifikasi makanan halal yang berkelanjutan. Ia menambahkan bahwa kualitas pelayanan dan branding juga harus diperkuat.
“Pelatihan SDM pariwisata juga penting agar ramah terhadap wisatawan muslim. Intinya, semua potensi wisata di Sumbar harus ditata berdasarkan nilai-nilai ABS-SBK,” jelasnya.
Buya Zaitul juga mengingatkan bahwa pariwisata halal tidak boleh hanya menjadi simbol semata tanpa konsistensi dalam pelaksanaannya.
“Jangan sampai ini hanya menjadi jargon tanpa implementasi yang jelas di lapangan,” pungkasnya.