Pasaman Barat – Kembali menjadi sorotan. Bukan karena prestasi atau pembangunan yang membanggakan, tapi karena luka yang terus menganga di tubuh alam dan keadilan: tambang ilegal yang merajalela, seolah-olah hukum tak berdaya, dan aparat seakan hanya menonton.
Advokat Ki Jal Atri Tanjung, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, angkat suara dengan tegas. Ia mendesak pihak berwenang untuk segera menutup seluruh tambang ilegal di wilayah Pasaman Barat dan menindak tegas para pelakunya tak hanya penambang di lapangan, tetapi juga pemodal besar dan beking kuat di belakangnya.
“Ini bukan lagi soal ekonomi rakyat, tapi soal kejahatan terorganisir yang merusak lingkungan, menghancurkan tatanan hukum, dan menampar wajah negara,” tegasnya.
Apa yang disuarakan Ki Jal bukan sekadar kegelisahan pribadi. Ia merepresentasikan jeritan masyarakat yang sudah muak melihat perampokan sumber daya alam di depan mata, yang dibiarkan begitu saja oleh mereka yang digaji untuk menegakkan hukum dan menjaga lingkungan.
Tambang ilegal bukan hanya soal pelanggaran administratif. Ia adalah kejahatan ekologis yang berdampak panjang: merusak sungai, mencemari tanah, mengusir flora-fauna, dan mengancam kehidupan generasi mendatang.
Lebih dari itu, tambang ilegal adalah bukti konkret bahwa hukum di negeri ini bisa ditawar, asal punya uang dan koneksi.
Pertanyaannya: di mana aparat penegak hukum? Di mana pejabat daerah yang seharusnya menjadi garda terdepan pelindung rakyat dan alamnya? Mengapa pembiaran ini terus berlangsung? Apakah negara sedang berkompromi dengan para bandit berkedok investasi?
Jika pemerintah dan aparat penegak hukum masih punya nurani, sudah saatnya bertindak tegas: tutup semua tambang ilegal di Pasaman Barat, usut tuntas jaringan pemodal dan pelindungnya, dan bawa ke meja hijau tanpa pandang bulu.
Jangan tunggu sampai alam benar-benar murka dan rakyat mengambil tindakan sendiri. Negara harus hadir bukan sekadar menonton dari kejauhan.