Scroll untuk baca artikel
EDUKASIOpini

Sertifikasi Tanah Ulayat Mengancam Kelestarian Pusaka Tinggi

10126
×

Sertifikasi Tanah Ulayat Mengancam Kelestarian Pusaka Tinggi

Sebarkan artikel ini
Ki Jal Atri Tanjung ( Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat)

Padang, Menaramu.id – Penerbitan sertifikat tanah ulayat tengah menjadi isu hangat di tengah masyarakat adat Minangkabau. Di satu sisi, sertifikat tanah dianggap sebagai bentuk legalitas formal yang dapat memperkuat kepemilikan kolektif masyarakat adat atas tanahnya.

Namun di sisi lain, langkah ini mengandung potensi besar terhadap tergerusnya nilai-nilai adat dan ancaman terhadap kelestarian pusaka tinggi.

Scroll ke bawah
Teruskan Membaca

Advokat dan pemerhati hukum adat, Ki Jal Atri Tanjung, menyatakan bahwa pemberian sertifikat tanah ulayat harus disikapi dengan kewaspadaan tinggi.

“Jangan sampai upaya untuk memperoleh pengakuan negara justru membuka jalan bagi pergeseran nilai dan penyalahgunaan hak atas tanah adat,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan Menaramu.id, Sabtu (18/4).

Baca juga:   Di Mana Cinta Mekar: Menjelajahi Romantisme Berproses di Komisariat IMM

Dalam tradisi Minangkabau, tanah ulayat merupakan tanah warisan nenek moyang yang dimiliki secara kolektif oleh suku atau kaum, dan dikelola berdasarkan adat yang berlaku.

“Tanah ulayat itu bukan sekadar objek hukum, tapi simbol identitas dan keberlanjutan eksistensi masyarakat adat,” tegas Ki Jal yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Muhammadiyah Sumatera Barat itu.

Ia mengingatkan, sertifikat tanah dalam sistem hukum positif Indonesia lazimnya berorientasi pada kepemilikan individual dan kapitalistik, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip komunal dalam adat.

“Jika tidak hati-hati, sertifikasi tanah ulayat bisa menjadi celah bagi alih fungsi dan jual beli tanah adat,” tambahnya.

Untuk itu, peran ninik mamak dan lembaga adat menjadi sangat krusial dalam proses sertifikasi tanah ulayat.

Baca juga:   Kesempatan Belajar dan Bekerja bagi Penyandang Down Syndrome

“Mereka harus menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa nilai-nilai adat tetap terjaga, sekaligus menjadi penentu arah pemanfaatan tanah agar tetap sesuai dengan kepentingan anak kemenakan,” jelasnya.

Ki Jal juga mendorong agar pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) melibatkan unsur adat secara aktif dan memberikan ruang yang cukup bagi pendekatan kultural dalam setiap proses administrasi.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa legalitas formal bukan berarti mengesampingkan kelestarian adat.

“Idealnya, sertifikat tanah ulayat harus memuat ketentuan yang memperkuat prinsip-prinsip adat, misalnya larangan jual beli, pembatasan alih fungsi, serta pengawasan adat terhadap pemanfaatannya,” kata Ki Jal.

Ia juga menyarankan adanya peta jalan (roadmap) kebijakan yang menjamin hak masyarakat adat secara berkelanjutan. “Perlu ada regulasi yang berpihak, bukan malah mengikis,” katanya lagi.

Baca juga:   Menilik Pengalihan Dana Muhammadiyah dari BSI

Akhirnya, Ki Jal Atri Tanjung mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya generasi muda Minangkabau, untuk memahami nilai tanah ulayat bukan hanya sebagai aset, melainkan sebagai warisan budaya yang sarat makna.

“Jika tanah ulayat hanya dipandang sebagai komoditas, maka kita akan kehilangan jati diri,” pungkasnya.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *