Scroll untuk baca artikel
EDUKASI

Nagari dalam Kemajuan Muhammadiyah

10332
×

Nagari dalam Kemajuan Muhammadiyah

Sebarkan artikel ini
Dr. H. Yulizal Yunus, MA Dt. Rajo Bagindo

Sejarah Keagamaan di Taluk, Pesisir Selatan, Sumatera Barat

Oleh: Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

Scroll ke bawah
Teruskan Membaca

Penelitian saya tentang sejarah agama di Sumatera Barat telah berlangsung sejak 1980-an, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Di antara yang menonjol adalah penelitian “Riwayat Hidup, Varian Hidup Ulama Sumatera Barat” di ICSB (1981) dan riset internasional berupa content analysis terhadap 37 buku karya Dr. H.A.K.A melalui kerja sama Toyota Foundation (1988). Dari perjalanan panjang tersebut, saya menemukan dua aspek penting yang menentukan perkembangan keagamaan di Sumatera Barat, manajemen kelembagaan dan kemurnian paham keagamaan.

Dalam hal kelembagaan, Tarbiyah Islamiyah unggul dalam pengelolaan arsip dan dokumentasi, sementara Muhammadiyah cenderung lemah dalam hal tersebut. Meski demikian, Muhammadiyah menunjukkan kekuatan luar biasa dalam pengaruh paham modernis, khususnya di nagari-nagari Minangkabau. Salah satu contoh menonjol adalah Nagari Taluk, Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, di mana Muhammadiyah tumbuh kuat dan menjadi dominan, menggantikan tradisi keagamaan berbasis tarekat dan Tarbiyah Islamiyah.

Tradisi dan Transformasi Keagamaan di Taluk

Di Taluk, masyarakat mengenal dua arus pemikiran keagamaan utama: ulama tradisional (kaum tua) dan ulama modernis (kaum muda). Ulama tradisional cenderung berpaham tarekat dengan basis pendidikan Tarbiyah, sedangkan kaum modernis lebih berpihak pada gerakan pembaruan keislaman ala Muhammadiyah.

Baca juga:   Muhammadiyah Di Tengah Surplus Informasi yang Diterima Publik: Jurnalistik Berkualitas Menjadi Kunci

Perbedaan ini tidak hanya menyangkut pemahaman teologis, tetapi juga tercermin dalam praktik ibadah seperti penetapan awal Ramadan dan Idulfitri (hisab vs rukyat), jumlah rakaat salat tarawih (8 vs 20), pengucapan niat salat, bacaan takbir, hingga sikap terhadap ritual adat seperti berdiri saat maulid dan berbagai alek (upacara adat). Meski berbeda dalam paham (ikhtilaf), kedua kelompok bersatu dalam semangat melawan penjajahan (ittifaq).

Fenomena perbedaan ini, seperti dicatat Gubernur Belanda B.J.O. Schrieke dalam buku Pergolakan Islam di Sumatera Barat (1950), juga terjadi di wilayah lain seperti Padang Panjang dan Simabur. Akibatnya, terjadi peningkatan pembangunan rumah ibadah di Taluk, dari surau tradisional hingga masjid-masjid yang menjadi simbol pergeseran pemahaman keagamaan.

Surau Lamo dan Tarekat di Taluk

Taluk memiliki dua tarekat besar Naqsyabandiyah dan Saman. Tarekat Naqsyabandiyah berkembang melalui Surau Tanjung yang berdiri sejak 1936 di Koto Panjang. Surau ini menjadi tempat suluk (ritual spiritual) hingga tahun 1970-an, dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Imam Tanaim, Katik Usu, hingga Imam Sadar.

Ada pula Surau Lamo di Tanjung Kandis, yang disebut sebagai pusat tarekat Naqsyabandiyah tertua di wilayah ini. Surau ini diyakini berkaitan erat dengan sosok “Imam Tia”, seorang pemangku adat dan ulama yang hidup sekitar abad ke-18, berasal dari suku Sikumbang di Kampung Majanang. Peran Imam dalam struktur adat Minangkabau menegaskan bahwa lembaga surau tidak hanya pusat ibadah, tapi juga bagian penting dalam sistem sosial suku.

Baca juga:   Takziah di Era Modern: Memadukan Ajaran Islam dengan Teknologi

Selain itu, Surau Nyaman, yang didirikan di dekat Palak Pisang, juga menjadi pusat aktivitas tarekat. Namun sejak 1936, aktivitas suluk mulai meredup seiring menurunnya jumlah murid dan wafatnya para guru. Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah di Taluk berakar dari Surau Seberang Patai di Kampung Ladang, yang terhubung ke tarekat yang datang dari Aceh.

Tarekat Saman juga dikenal di Taluk, meskipun silsilahnya belum terungkap secara utuh. Beberapa tokohnya adalah Amiang, Pakiah, dan Durus, dengan guru Katik Malir dari Taratak.

Muhammadiyah dan Surau Baru: Gerakan Modernisme di Taluk

Gerakan Muhammadiyah mulai menguat di Taluk sejak munculnya tokoh-tokoh seperti Pakiah Arif di Koto Panjang dan Pakiah Budin (Syihabuddin). Penerus mereka seperti M. Yunus Taraan (M. Yunus T.), menjadi pelopor perubahan praktik ibadah, seperti pengurangan rakaat tarawih menjadi delapan, serta perbedaan bacaan dalam salat.

Baca juga:   Desy Ratnasari: Pola Asuh Anak Penting Cegah Perundungan

M. Yunus T., yang wafat pada 23 Maret 2022 dalam usia lebih dari 100 tahun, dikenal sebagai tokoh sentral penyebaran paham modernis Muhammadiyah di Tanjung Kandis. Ia belajar kitab kuning di Bayang, bahkan mengorbankan dua kandang kerbau untuk menuntut ilmu. Gurunya antara lain Syekh Maksum dan Angku Bonjo.

Meskipun tidak ada papan nama atau kartu identitas Muhammadiyah yang secara resmi digunakan oleh warga Taluk, pengaruh paham ini sangat terasa dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Perbedaan antara surau lama (berbasis tarekat) dan surau baru (berpaham Muhammadiyah) menjadi indikator utama identitas religius masyarakat.

Kata Penutup

Perkembangan Muhammadiyah di Taluk berlangsung bukan melalui struktur formal organisasi, melainkan lewat transformasi pemikiran dan praktik ibadah. Pengaruhnya tersebar luas dan nyaris menenggelamkan kekuatan tarekat, meskipun tanpa simbol-simbol institusional yang mencolok.

Pertumbuhan masjid dan surau baru, seperti Surau Al-Qumul’Aqilin (Kampai) serta Masjid Raya Al-Jadid, adalah hasil langsung dari pengaruh paham modernis ini. Tidak sedikit dari tempat ibadah ini yang berdiri di atas rumah atau lahan pribadi, mencerminkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap kebutuhan akan pembaruan pemahaman keislaman.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *