Cinta, kata yang seringkali terdengar manis namun jarang diselami maknanya secara mendalam. Ia bisa menjadi kata pembuka dalam puisi, inti dalam romansa, atau harapan dalam doa-doa kita.
Namun dalam sejarah pemikiran manusia, cinta bukan sekadar perasaan yang menggebu-gebu atau sekilas getaran hati. Ia adalah jalan sebuah gerak spiritual yang membawa jiwa manusia menuju sesuatu yang lebih tinggi, lebih murni, dan lebih sejati.
Dalam khazanah filsafat Yunani, Socrates memaknai cinta (eros) sebagai tangga menuju keabadian. Melalui dialog yang diabadikan oleh muridnya, Plato, Socrates menjelaskan bahwa cinta bukanlah hasrat sesaat pada keindahan fisik, melainkan dorongan terdalam untuk mendekati kebaikan yang hakiki.
Cinta, kata Socrates, harus membawa manusia melampaui tubuh, menuju keindahan jiwa, dan akhirnya menyatu dengan ide tentang kebaikan yang abadi. Dalam pandangan ini, cinta adalah gerak pendakian sebuah tangga spiritual yang hanya dapat dinaiki oleh mereka yang mau berpikir, merenung, dan menyucikan dirinya dari ego.
Lalu datanglah Rumi, sang penyair sufi dari Timur, yang dengan bahasa puitis dan cinta yang membakar, menulis, “Cinta adalah jembatan antara dirimu dan segalanya.” Rumi tidak berbicara tentang cinta sebagai sesuatu yang perlu dijelaskan secara logis, melainkan dirasakan sepenuhnya. Bagi Rumi, cinta adalah luka yang menyembuhkan, tangis yang memurnikan, dan kerinduan yang mempersatukan.
Dalam cinta, kita tak lagi menjadi siapa-siapa. Ego lenyap, dan yang tersisa hanyalah rindu yang mendalam untuk menyatu dengan Sang Kekasih Tuhan. Maka cinta menurut Rumi adalah titik balik dari kesombongan menuju kerendahan hati, dari ambisi menuju penyerahan, dari keramaian menuju keheningan batin.
Berabad-abad kemudian, melalui sebuah novel yang tampak sederhana namun sarat makna, Dunia Sophie memperkenalkan cinta sebagai rasa ingin tahu yang murni. Cinta dalam buku ini bukan didefinisikan secara romantis, melainkan dalam bentuk rasa kagum dan pencarian makna. Sophie mencintai dunia karena ia bertanya.
Ia bertanya karena ia tak puas hanya menjadi bagian dari rutinitas. Dalam semangat itu, cinta menjadi kekuatan untuk memahami hidup, untuk melihat sesuatu dengan mata baru, dan untuk menolak hidup yang dijalani tanpa kesadaran.
Socrates, Rumi dan Dunia Sophie bicara tentang cinta bukan karena mereka ingin melankolis, tetapi karena mereka sadar bahwa cinta adalah kekuatan terdalam manusia yang bisa mengubah, menyembuhkan, dan mengangkat jiwa ke tempat yang lebih tinggi. Socrates melihat cinta sebagai tangga kebijaksanaan, Rumi sebagai jalan menuju Tuhan, dan Sophie sebagai dorongan untuk berpikir dan menjadi sadar.
Cinta, bagi mereka, adalah akar segala pencarian. Maka, saat mereka bicara tentang cinta, sejatinya mereka bicara tentang siapa kita, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita menuju. Karena dalam pencarian cinta, sesungguhnya manusia sedang mencari dirinya sendiri dan Tuhannya.
Jika kita merajut benang merah dari ketiga pemikiran itu Socrates yang memanjat tangga kebaikan, Rumi yang terbakar oleh rindu ketuhanan, dan Sophie yang terpesona oleh misteri dunia kita akan menemukan bahwa cinta adalah tenaga penggerak kehidupan yang paling murni. Dan jika cinta adalah energi murni, maka seharusnya ia menjadi ruh dalam setiap bentuk kebersamaan, termasuk dalam berorganisasi.
Sayangnya, banyak organisasi hari ini yang kehilangan ruh cinta itu. Kita sering melihat organisasi menjadi tempat kontestasi kekuasaan, medan saling sikut, atau panggung pencitraan. Yang dipertahankan bukan nilai, melainkan posisi. Yang diperjuangkan bukan cita-cita bersama, melainkan ambisi pribadi. Dalam kondisi seperti itu, organisasi kehilangan jiwanya ia menjadi tubuh tanpa ruh, gerak tanpa arah.
Di sinilah filsafat cinta menjadi sangat relevan. Organisasi bukan sekadar wadah kerja atau ruang struktural. Ia adalah rumah jiwa bersama. Bila ingin membangunnya dengan utuh, maka kita tidak cukup mengandalkan sistem dan aturan. Kita membutuhkan cinta sebagai fondasi, cinta pada nilai, cinta pada kebaikan, cinta pada proses, dan cinta pada sesama anggota.
Bayangkan bila dalam sebuah organisasi, semangat Socrates hadir di mana setiap orang berusaha naik tangga kebaikan, dari kepentingan pribadi menuju kepentingan bersama. Bayangkan bila semangat Rumi menyelimuti suasana organisasi, di mana tak ada lagi saling curiga, karena semua merasa menjadi bagian dari keluarga rohani yang sama.
Bayangkan bila semangat Sophie merasuk dalam jiwa anggota organisasi, di mana setiap orang tidak merasa cukup hanya dengan rutinitas, melainkan terus bertanya, belajar, dan bertumbuh.
Cinta dalam organisasi berarti kesediaan untuk mendengar, bahkan ketika kita tidak setuju. Cinta berarti kerendahan hati untuk menerima kritik, dan keikhlasan untuk memberi apresiasi. Cinta bukan tentang siapa yang paling hebat, tetapi siapa yang paling tulus berjuang. Cinta bukan tentang hasil semata, tetapi tentang niat dan proses yang dijalani bersama.
Organisasi yang dilandasi cinta tidak akan mudah goyah oleh perbedaan pendapat. Justru dari perbedaan itu, mereka menemukan kekayaan perspektif. Cinta mengajarkan bahwa setiap orang datang dengan pengalaman, luka, dan harapannya sendiri dan semua itu pantas didengar, dipahami, dan dihormati.
Namun cinta juga bukan berarti lembek. Cinta, sebagaimana diajarkan Rumi, adalah api. Ia membakar kemunafikan.
Ia menghancurkan topeng-topeng. Dalam organisasi, cinta yang sejati akan membuat kita berani berkata benar meskipun tak populer, berani menegakkan nilai meskipun ditinggal orang banyak.
Karena cinta tak selalu memanjakan. Kadang ia menegur, bahkan meninggalkan, demi kebaikan yang lebih tinggi.
Cinta menuntut kesetiaan pada nilai, bukan pada orang. Ia menuntut keteguhan, bukan pada posisi, tapi pada prinsip. Dan ini semua hanya mungkin jika organisasi dipandang bukan sebagai alat, tapi sebagai amanah. Bukan tempat mencari nama, tapi tempat menanam makna.
Akhirnya, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita berorganisasi karena cinta, atau karena kepentingan? Apakah kita hadir dalam rapat, dalam musyawarah, dalam program, dengan semangat berbagi dan melayani, atau hanya karena takut kehilangan kuasa?
Pertanyaan ini tidak untuk menyudutkan siapa pun, tapi untuk mengajak kita kembali ke akar bahwa organisasi yang sehat lahir dari hati yang jernih, dan hati yang jernih lahir dari cinta yang tulus.
Jika hari ini kita merasa organisasi kita kehilangan arah, kehilangan semangat, kehilangan kebersamaan barangkali bukan karena kurangnya program, atau lemahnya sistem. Mungkin karena cinta tak lagi menjadi alas dari langkah-langkah kita.
Maka mari kita hidupkan kembali cinta itu. Cinta yang membuat kita mendengarkan dengan hati, seperti kata Socrates. Cinta yang membuat kita lebur dalam keikhlasan, seperti ajaran Rumi. Dan cinta yang membuat kita terus bertanya dan tumbuh, seperti yang dialami Sophie.
Karena sejatinya, hanya dengan cinta-lah organisasi bisa menjadi rumah. Dan hanya cinta yang mampu mengubah barisan menjadi barokah, dan struktur menjadi jiwa.
Oleh: Muhammad Najmi