Oleh: Ki Jal Atri Tanjung (Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat)
Penyusunan dan penetapan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) selalu menjadi isu strategis yang patut dicermati. Di Sumatera Barat, kebijakan ini harus dikawal dengan ketat agar tidak menjadi alat kepentingan segelintir pihak yang ingin memanfaatkan regulasi demi keuntungan sendiri.
Apalagi, ada proyek strategis nasional (PSN) yang tengah bergulir, yang berpotensi menjadi pemicu terjadinya kepentingan terselubung dalam regulasi RTRW.
RTRW seharusnya menjadi pedoman bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan dan berpihak pada masyarakat. Namun, dalam beberapa kasus, Perda RTRW justru disusun untuk mengakomodasi proyek-proyek besar yang lebih menguntungkan investor daripada rakyat.
Di Sumatera Barat, kehadiran PSN seperti pembangunan infrastruktur, jalan tol, atau kawasan industri harus benar-benar diawasi. Jika tidak, dikhawatirkan ada unsur kepentingan tertentu yang menyusup dalam Perda RTRW, sehingga kebijakan yang seharusnya dirancang untuk kesejahteraan masyarakat malah menjadi alat eksploitasi sumber daya alam dan penggusuran lahan warga.
Pemerintah daerah wajib menjamin keterbukaan dalam perumusan Perda RTRW. Masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan secara aktif agar kebijakan yang disusun benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat, bukan hanya memenuhi syarat bagi investor besar.
Selain itu, DPRD sebagai lembaga legislatif daerah harus bersikap kritis dan tidak sekadar menjadi “stempel” kepentingan tertentu. Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan dampak sosial dari setiap proyek harus menjadi pertimbangan utama sebelum menetapkan kebijakan tata ruang.
Sudah banyak contoh di berbagai daerah di Indonesia di mana pengesahan RTRW yang berpihak pada kepentingan bisnis malah berujung pada konflik agraria, penggusuran, dan kerusakan lingkungan. Sumatera Barat tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama.
Jika Perda RTRW dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, maka yang akan terjadi adalah ketimpangan sosial, hilangnya hak atas tanah bagi masyarakat adat, serta semakin berkurangnya ruang hijau dan lahan produktif.
Masyarakat Sumatera Barat harus waspada dan aktif mengawasi proses pembentukan Perda RTRW. Jangan sampai ada kepentingan tersembunyi yang justru merugikan rakyat.
Regulasi tata ruang harus berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menjadi alat bagi pemodal besar untuk mengeruk keuntungan.
Kita harus bersikap kritis dan tegas: Sumatera Barat adalah milik rakyat, bukan hanya segelintir elit dan korporasi!