Pada tahun 2025 mendatang, Muhammadiyah di Sumatera Barat akan genap berusia satu abad. Namun, perjalanan panjang ini belum sepenuhnya mencerminkan kemajuan yang kokoh di berbagai aspek.
Fondasi gerakan persyarikatan masih rapuh, baik dari segi kaderisasi, keuangan amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang produktif, kepemimpinan, maupun pengembangan tarjih di tingkat lokal.
Oleh sebab itu, ungkapan “Mendekati Satu Abad Muhammadiyah di Sumatera Barat, Dimulai dari Nol…” patut menjadi bahan refleksi bagi para pimpinan dan warga Muhammadiyah.
Meskipun demikian, ungkapan tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena masih terdapat harapan besar untuk kemajuan gerakan ini.
Idealnya, usia satu abad Muhammadiyah ditandai oleh kuatnya gerakan, surplus keuangan, berkualitasnya amal usaha, serta kehadiran kader-kader militan di persyarikatan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Banyak kader masih bersikap seperti kaum dhuafa yang merasa selalu kekurangan, baik dalam hal waktu untuk bergerak, semangat (ghirah) dakwah, maupun konsistensi gerakan.
Fenomena ini biasanya berubah hanya dalam situasi-situasi insidental seperti pemilu, baik pilpres, pileg, maupun pilkada. Dalam momen tersebut, kader-kader kerap bermunculan karena ada peluang untuk mendapatkan keuntungan material.
Meskipun ini bukan sepenuhnya salah, kondisi tersebut mencerminkan masalah mendasar dalam pengelolaan gerakan.
Situasi ini menuntut langkah-langkah pemulihan yang mendesak dan terencana. Berikut adalah beberapa upaya strategis yang dapat dilakukan untuk memperkuat Muhammadiyah di Sumatera Barat:
1. Memurnikan Niat dalam Ber-Muhammadiyah
Istilah “murni” secara bahasa merujuk pada keikhlasan. Dalam Al-Qur’an, keikhlasan memiliki berbagai makna, di antaranya adalah kemurnian (al-khuluus min al-syawaa’ib) seperti yang terdapat dalam Surat An-Nahl ayat 66, serta tauhid (al-tauhid) dan pensucian (al-tathhir).
Maka, memurnikan diri dalam Muhammadiyah berarti mengikhlaskan diri sepenuhnya untuk berjuang dalam persyarikatan.
Setiap pimpinan Muhammadiyah harus memastikan bahwa mereka telah memurnikan niat untuk memimpin persyarikatan, termasuk kesiapan menerima segala risiko yang mungkin muncul. Dengan niat yang murni, tidak ada lagi alasan untuk “mencari waktu luang” dalam ber-Muhammadiyah.
Muhammadiyah harus menjadi bagian dari hidup pimpinan, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun. Jika hal ini dilakukan, sinergi gerakan akan terwujud, sehingga dakwah, sosial, dan tajdid dapat terlaksana dengan baik. Predikat umat terbaik, “Kuntum Khairan Ummat”, akan tercapai.
2. Memperkuat Ideologi Muhammadiyah melalui Pengajian, Pengkajian, dan Pengkaderan
Di Muhammadiyah, tidak ada istilah “khatam dalam belajar.” Setiap pimpinan harus aktif mengadakan pengajian dan pengkajian untuk terus memperdalam ilmu dan memperkuat ideologi. Namun, kegiatan pengajian sering kali belum dikemas secara relevan dengan isu-isu kekinian.
Branding dakwah dan pemanfaatan platform media sosial, misalnya, masih kurang menjadi fokus utama. Hal ini membuat kualitas pengajian dan pengkajian dipertanyakan.
Pengkaderan juga belum optimal dalam menyentuh aspek spiritual, gerakan, dan persaudaraan. Banyak kegiatan pengajian hanya berakhir dengan seruan “Nashrun Minallah wa Fathun Qarib,” tanpa tindak lanjut yang konkret.
Muhammadiyah memerlukan pendekatan modern dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi gerakan, agar dapat menghadirkan dampak nyata di masyarakat. Jika pimpinan hanya berfokus pada diskusi ilmu tanpa aksi nyata, maka lebih baik aktivitas tersebut dibatasi di ranah akademis saja.
3. Mentradisikan Pengorbanan Pikiran, Waktu, dan Materi
Sebagai gerakan, Muhammadiyah tidak cukup dengan wacana atau dialektika ilmu semata. Dibutuhkan pengorbanan nyata dalam bentuk pikiran, waktu, dan materi. Para pimpinan harus menjadi pionir dalam mentradisikan pengorbanan ini.
Bahkan, banyak pimpinan Muhammadiyah yang rela berkorban meskipun mereka bukan berasal dari kalangan ekonomi atas. Hal ini adalah buah dari keikhlasan dan tauhid yang mendalam.
Sebaliknya, jika ada pimpinan yang sudah tinggi ilmunya namun minim kontribusi dalam gerakan dan pengorbanan, maka kelayakan mereka sebagai pimpinan patut dipertanyakan. Muhammadiyah membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berjiwa pengorbanan.
4. Memperkuat Jaringan untuk Mendukung Ekonomi dan Gerakan
Jaringan dengan berbagai elemen masyarakat adalah hal yang wajib diperkuat agar Muhammadiyah mampu bergerak maksimal, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Untuk menghindari pragmatisme personal, setiap pimpinan harus memiliki kondisi spiritual (haal) yang mencerminkan kemurnian niat dalam ber-Muhammadiyah. Jika tidak, fitnah akan mudah berkembang di tengah persyarikatan, yang pada akhirnya merusak amal salih dalam gerakan.
Keempat langkah di atas hanyalah sebagian dari solusi yang dapat dilakukan untuk memperkuat Muhammadiyah di Sumatera Barat. Namun, yang paling penting adalah kesadaran kolektif setiap warga Muhammadiyah, terutama para pimpinan sebagai lokomotif gerakan, untuk mempercepat dan meneguhkan pergerakan. Surplus ekonomi persyarikatan juga menjadi hal yang sangat mendesak untuk diwujudkan.
Tulisan ini bertujuan memberikan pandangan, solusi, sekaligus kritik konstruktif bagi semua pihak yang masih menaruh Muhammadiyah dalam hati sebagai wadah bertauhid dan beramal saleh. Semoga Muhammadiyah terus berkembang menjadi gerakan yang kokoh dan berdaya guna bagi umat.
Nashrun Minallah wa Fathun Qarib wa Bashshiri Ash-Shabirin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Oleh: Dr. Ibrahim, S.Pd.I, MA. (Ketua PDM Dharmasraya)
Editor: Endrio Febrianda