PERJUANGAN mengharumkan nama besar Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak aktif mengayomi umat, telah dimulai sejak awal berdirinya. Dan langkah itu dilakukan dari waktu ke waktu hingga kini.
Dalam perjalanannya, konsep-konsep perjuangan itu dikemas rapi dengan cara-cara elegan, dan ditujukan seutuhnya untuk pencerahan umat ijabah, yang membutuhkan tuntunan dari sumber-sumber terbaik dan divalidasi dengan penuh perhatian. Mulai dari tingkat pusat hingga ranting, Muhammadiyah tumbuh subur di hati para warganya, melalui gerakan amal usaha, baik pendidikan, rumah ibadah, pengajian, kesehatan, maupun bidang lain yang selaras dengan matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah (MKCH).
Pada persoalan politik, Muhammadiyah pun tidak bisa dianggap remeh dalam perjuangan negeri ini. Para tokoh Muhammadiyah baik di tingkat nasional maupun daerah, telah berbuat banyak dalam penataan demokrasi berbangsa dan bernegara.
Kini, Muhammadiyah tidak lagi dinilai sebagai organisasi yang anti politik. Hal itu ditunjukkan dengan keikutsertaan Muhammadiyah dalam menyikapi setiap proses suksesi politik. Tanpa keengganan menunjukkan independensinya, Muhammadiyah pun turun gunung untuk merekomendasi para tokoh yang menjadi peserta suksesi politik kekuasaan sejak Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden di pertengahan Pebruari lalu.
Hal itu tentu menjadi kegembiraan tersendiri di kalangan aktivis Muhammadiyah, terutama kalangan muda yang telah lama menanti waktu untuk terjun secara terbuka dalam sikap-sikap independensi politiknya. Termasuk pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang tahun ini dilakukan di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Saat di satu sisi terbentuknya sedikit euforia di kalangan aktivis Muhammadiyah karena semakin terbukanya organisasi itu dalam sikap politik, di lini lain muncul pula kekhawatiran terhadap kondisi organisasi modern itu, yang mungkin saja terpecah oleh keberpihakan terhadap kepentingan politik orang-orang tertentu.
Di Pilkada 2024 ini, Muhammadiyah Sumatra Barat segera akan menerbitkan rekomendasi, – yang sebenarnya telah diputuskan namun belum dipublikasi, diyakini sebagian pihak akan berdampak serius pada kesatuan gerak Muhammadiyah ke depan.
Helat politik lima tahunan itu akan menjadi media munculnya friksi di tubuh Muhammadiyah, bahkan dapat membuat pola baru dalam cara berpikir warga Muhammadiyah itu sendiri terhadap organisasinya. Pola baru itu adalah, pemahaman bahwa Muhammadiyah tidak lagi mengedepankan nilai-nilai demokrasi keumatan yang semestinya menjadi ukuran langkah Muhammadiyah.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Perlu perenungan lebih mendalan bahwa gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar yang Landasan filosifis nya surat al-Ma’un dan Ali Imran 104. Bahwa dalam ayat-ayat tersebut tersirat tiga level peran keumatan yang mesti dilakoni; pasif-partisipatif-aktif. Muhammadiyah selama ini baru melakoni peran partisipatif. Peran ini dipilih utk menjaga posisi persyarikatan agar senantiasa berada pada zona nyaman terkait kemungkinan adanya pergeseran sosial politik baik internal maupun eksternal. Posisi ini sukses dipertahankan bahkan sampai usia persyarikatan ini 114 tahun. Katakanlah sepanjang periode tersebut Muhammadiyah ibarat singa berkamuflase sebai kucing. Dewasa ini sudah harus maju selangkah lagi melakoni peran aktif, perang yang menentukan kebijakan dinegeri. Kira sudah mesti keluar dari zona nyaman itu. Sebenarnya khittah Denpasar 2002 mengamanahkan bahwa Muhammadiyah sudah saatnya mengambil peran aktif dalam perpolitikan. Rasanya, hanya Muhammadiyah yang bisa merobah paradigma politik kelam menjadi rahmatan Lil ‘alamin. Wallahu a’lam.