Padang – Kasus perceraian di Sumatera Barat terus menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2022, tercatat 51.6334 kasus perceraian, sebuah angka yang menunjukkan lonjakan signifikan.
Kondisi ini menimbulkan berbagai dampak serius, terutama pada keluarga dan anak-anak yang menjadi korban langsung dari perpecahan rumah tangga.
Perceraian tidak hanya mengganggu stabilitas emosional anak, tetapi juga berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Anak-anak yang terjebak dalam pusaran perceraian sering kali mengalami kesulitan mendapatkan asupan nutrisi yang cukup, baik itu karbohidrat maupun protein, yang esensial bagi tumbuh kembang mereka.
Selain itu, perceraian juga memicu konflik terkait hak asuh anak, yang sering kali menambah beban psikologis anak-anak yang sudah rentan.
Dalam masyarakat Minangkabau, yang terkenal dengan sistem matrilineal, hak asuh anak tradisionalnya sering jatuh kepada pihak ibu setelah perceraian.
Namun, temuan penelitian terbaru menunjukkan adanya perubahan paradigma. Kini, semakin banyak ayah yang mulai memahami tanggung jawab mereka terhadap anak meskipun telah bercerai, terutama jika mereka memiliki pemahaman agama yang kuat.
Untuk menghadapi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan kearifan lokal dan pemahaman agama yang lebih mendalam.
Pertama, peran ninik mamak yang selama ini aktif dalam proses perjodohan perlu dihidupkan kembali sebagai penengah jika terjadi perselisihan rumah tangga. Kehadiran mereka dapat membantu mendamaikan konflik antara suami dan istri sebelum perceraian menjadi pilihan terakhir.
Kedua, pasca perceraian, kolaborasi antara kedua belah pihak, suami dan istri, harus tetap terjalin demi kelangsungan masa depan anak. Keduanya harus bertanggung jawab, tidak hanya dalam pemenuhan kebutuhan finansial, tetapi juga dalam memberikan kasih sayang dan perhatian yang diperlukan oleh anak.
Ketiga, pemahaman agama Islam mengenai tanggung jawab suami istri setelah perceraian harus diperkuat. Ajaran agama yang menekankan pentingnya tanggung jawab terhadap anak, meskipun pernikahan telah berakhir, perlu ditanamkan lebih dalam kepada pasangan-pasangan yang bercerai.
Keempat, pemerintah provinsi Sumatera Barat perlu merumuskan kebijakan yang lebih jelas terkait hak asuh anak pasca perceraian. Sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pembagian tanggung jawab ini dapat menjadi pedoman bagi orang tua yang bercerai, sehingga hak-hak anak tetap terlindungi.
Dalam menghadapi gelombang perceraian yang semakin meningkat ini, kita perlu kembali kepada akar budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini menjadi pegangan masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, dampak negatif perceraian, terutama terhadap anak-anak, dapat diminimalisir, dan masa depan generasi penerus kita tetap terjamin.
Oleh: Dr. Murisal,M.Pd (Ketua Komisi Pendidikan MUI Sumatera Barat)
Editor: Endrio Febrianda